Buku adalah jendela dunia, begitulah kata pepatah. Mungkin tubuh kita tidak sanggup berkeliling dan melihat seisi dunia. Namun kita bisa melihat dunia, melalui buku. Bukulah yang akan memberitahu kita, seperti apa dunia itu, terkait bentuk, fenomena, sejarah, budaya, dan sebagainya. Tentunya, melalui proses yang disebut ‘membaca’.
Membaca buku, terikat erat dengan proses lainnya, yaitu ‘menulis buku’. Tanpa ada proses menulis, mustahil ada bacaan. Dan demi mewariskan ilmu dan pengetahuan, menulis sangat dibutuhkan. Dan, setiap dari kita adalah penulis, dengan ilmu dan pengalaman kita masing-masing.
Sebagai penulis buku, saya ingin berbagi ilmu, atau lebih tepatnya panduan menulis buku dari tahap awal, proses penerbitan, dan pemasaran. Namun panduan tersebut akan saya bagi menjadi 3 artikel. Tujuannya, agar pembahasan lebih terfokus dan sistematis. Untuk kali ini, saya akan mulai pembahasan pertama, yaitu menuangkan ide atau gagasan.
Menuangkan Ide
Pertengahan tahun 2018 kemarin, saya menerbitkan buku (novel) berjudul “Bintang di Bukit Cadas”. Saya menulis novel tersebut, kurang lebih butuh waktu 3 bulan lamanya. Tidak sulit, hanya proses kreatifnya yang kudu menarik dan berbeda.
Langkah pertama yang harus dilakukan ialah menuangkan ide atau gagasan. Tentu saja, semua orang sudah tahu itu. Namun, secara praktisnya masih banyak yang bingung bagaimana dan seperti apa penuangan gagasa itu.
Secara praktis penuangan ide menulis, kita bisa melakukan pencatatan bagian-bagian. Saya menyebutnya membuat Outline buku. Secara garis besar, membuat Outline artinya membuat kerangka-kerangka buku, alur, atau bisa juga langung membuat bab-bab buku. Pada penulisan novel saya sebelumnya, saya menggunakan Outline untuk membuat alur berupa bab. Silahkan amati gambar di bawah ini!
Gambar di atas merupakan cuplikan Outline untuk 3 bab pertama novel Bintang di Bukit Cadas. Outline memberikan deskripsi, gambaran, dan alur singkat isi tiap bab-nya. Tujuan utamanya untuk mencatat, agar tidak lupa. Karena kadang, ide itu seringkali hilang jika tidak ditulis. Kedua, menyelaraskan dan menghubungkan tiap bab, agar saling berkaitan dan penyelarasan.
Perlu diingat, ini hanya salah satu strategi saja, tidak wajib. Bagi yang memiliki cara lain, atau tidak ingin menggunakan strategi Outline ini, tidak masalah. Setiap orang punya caranya masing-masing. Asalkan, tulisannya berhasil diterbitkan. Karena tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai, pun telah diterbitkan menjadi karya nyata.
Menguatkan Isi
Perlu diketahui, menerbitkan buku itu muda saja, namun menerbitkan buku’berkualitas’ itu yang tidak mudah. Mengapa demikian? Sekarang ini penerbit Indie makin banyak.Bagaimana bentuk tulisan kita, mereka tidak akan menolak untuk menerbitkan. Hanya saja, apakah kita mau menulis asal-asalan tanpa memprioritaskan kualitas. Hal mana dari kualitas itu, akan timbul kepuasan diri, dan juga kepuasan pembaca yang sudah mengeluarkan duit membeli buku kita.
Dalam rangka menguatkan isi (kualitas), kita bisa melakukan penelitian atau riset terkait apa yang hendak kita tulis. Riset pun tidak boleh asal-asalan, karena itu akan mempengaruhi kredibilitas, validitas, dan kualitas buku.
Dulu saya pernah menjumpai riset yang saya anggap asal-asalan. Ceritanya, ada seorang penulis yang meneliti tentang ‘Tuyul’. Iya, tuyul makhluk halus itu. Katanya, tuyul itu merupakan hasil dari seperma yang terbuang di kamar mandi, akibat Onani. Coba kita bayangkan, apabila riset seperti ini dibukukan dan beredar di pasaran?
Ahh, lupakan soal itu! Yang ingin saya katakan, lakukanlah riset secara sungguh-sungguh. Tidak perlu mengejar target tapi mengabaikan substansi. Dan setidaknya ada 2 macam riset: Riset literatur dan riset lapangan. Riset literatur melakukan pengkajian materi melalui sumber-sumber tertulis, bisa buku, maupun jurnal. Sedangkan riset lapangan, penelitian yang dilakukan di tempat kejadian perkara. Riset lapangan perlu dilakukan ketika kita ingin menulis buku yang memuat tentang kejadian, adat dan budaya, dan identitas.
Matangnya riset, akan memudahkan penulisan buku. Sejatinya riset adalah gagasan itu sendiri. Tanpa gagasan kita akan mengalami kendala ‘kebuntuan’, sehingga bingung mau menulis apa. Keduanya saling melengkapi. Riset tanpa gagasan, ujungnya bingung apa yang mau diteliti. Gagasan tanpa riset, akan menjadikan buku kurang berbobot dan bingung apa yang hendak ditulis.
Menulis
Jika Outline dan riset sudah lengkap dan matang, langkah selanjutnya ‘menulislah’. Kali ini bukan menulis gagasan lagi, tapi kembangkan dan jabarkan gagasan itu menjadi tulisan kompleks. Apabila masih mengalami kendala menulis, mungkin bukan perihal ‘mau menulis apa’ melainkan ‘bentuk tulisan seperti apa’.
Kendala seperti itu mudah sekali ditepis. Cukup siapkan wedang kopi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan T-Saurus. Wedang kopi sebagai suplay energi biar tidak ngantuk. KBBI untuk tinjauan kebahasaan. Sedangkan T-Saurus berguna untuk pengembangan bahasa. Perihal bentuk tulisan, setiap orang punya gaya masing-masing, tidak perlu merasa minder dengan tulisan sendiri.
Khusus point ini, saya tidak akan menjelaskan panjang lebar. Karena cara menulis buku, ya itu, menulislah! Pokoknya tulis dan kembangkan saja gagasan dan hasil riset yang sudah dilakukan. Urusan enak dibaca atau tidak, belakangan. Jangan biasakan untuk berhenti menulis di tengah jalan. Lanjutkan sampai bab atau setidaknya sub-bab berakhir. Sesudah itu, kita bisa meninjau kembali dan melakukan perbaikan apabila ditemukan kesalahan.
----------------------------------------------
Saya cukupkan sekian ya, terlalu banyak teori kadang bikin tambah pusing. Yang paling penting ialah praktik langsung. Dan terakhir, tidak ada jalan pintas untuk menjadi penulis. Beranilah menulis, beranilah menerbitkan buku, saat itulah kita layak disebut penulis.
Posting Komentar untuk "Panduan Lengkap Menulis Buku: Menuangkan Ide (Part I)"